Kun FamilyProfile
Name : Kun Family
Leader : Haji Amil
Likes : Chocolate, Strawberry and Coffe
No Ripping, Spamming and even Cursing!
Be what you are
Don't forget to give comments ! oh and this layout credit to :http://simpleprincess.choco-drops.com/
Thanks!
~Kun Brother :)
Episode 2 : Love for Dong-suk, but it’s not really love for him
Liburan di Hokkaido belum berakhir bagi SSJ. Tak tanggung – tanggung mereka berenam menghabiskan waktu dengan bermain di pantainya.
”Hari ini Saito bersedia mengantar kita dengan kapal untuk memancing ke laut !” seru A-goong memberikan kabar kepada Boo-wo dan Dong-suk.
”Benarkah ? Ah ... bagus sekali, kalau begitu akan segera bersiap !” seru Dong-suk bersemangat. Ia berlari menuju kamarnya untuk segera bersiap – siap.
”Lantas bagaimana dengan kami ?” tanya Yuki.
”Kau bisa meminta Susumu untuk membantu perjalanan kalian,” jawab Boo-wo.
”Aku ingin ikut memancing bersama kalian, boleh ?” tanya So-hyun dan Ye-ri kompak.
“Tidak. Kalian ini kan tak suka dengan sesuatu yang berbau amis seperti ikan, jadi lebih baik kalian tunggu kami di villa, membaca, memasak, ataupun beristirahat saja itu sudah cukup untuk kalian,” jelas A-goong sok tau.
”Ka-kami ingin ikut ! Kau kira kami tak bisa memancing ?” Yuki membantah.
“Oh … bagus kalau begitu,” celetuk A-goong pelan dengan nada sedikit meremehkan. Kemudian keenamnya segera berangkat menuju pelabuhan. Rupanya disana, Saito telah menanti mereka dengan sebuah kapal kecil.
“Hari ini akan menjadi hari yang indah,” kata Dong-suk sambil merentangkan tangannya da menghirup udara bebas sebanyak – banyaknya.
“Ya … akan menjadi hari yang indah kecuali wajahmu tak ubahnya seperti itu,” kata Boo-wo yang membuat lainnya tertawa kecuali Dong-suk. Perjalanan pun dimulai begitu menggembirakan. Keenamnya menikmati kebersamaan dengan begitu akrab sampai tiba disebuah pulau entah apa namanya, Saito menghentikan kapalnya.
“Mengapa berhenti ?” tanya Ye-ri.
”Bahan bakar kapalnya habis,” jawab Saito gugup.
”Lantas bagaimana kita ? Apa yang akan kita lakukan ? Ikan – ikan ini akan terlantar ...” tanya So-hyun khawatir.
”Lebih baik kita turun dari kapal dan beristirahat di pulau ini, biarkan Saito membereskan kapal ini,” ide Boo-wo, yang lainnya mengangguk setuju. Mereka pun mulai menginjakan kaki diatas pantai pulau tersebut.
”Pesan saya kapada kalian semua, tolong jangan pergi jauh – jauh. Pulau ini adalah pulau terpencil dan tak berpenghuni, saya takut terjadi apa – apa dengan kalian semua,” ujar Saito kepada keenamnya. Keenamnya saling bertatapan dan kemudian mengangguk. Keenamnya berpencar, membuat dua kelompak yang terdiri dari masing – masing tiga orang.
Yuki, So-hyun, dan Ye-ri berjalan menyusuri pinggir pantai pulau tersebut, mengumpulkan beberapa kerang sambil berbincang.
”Yuki, kau pasti hapal bukan beberapa tempat di Hokkaido ? pasti kau tahu sejarah pulau ini,” tanya Ye-ri.
”Sayang sekali, sejak dahulu aku belum pernah mendengar sejarah pulau ini. Bahkan mungkin Ayah dan Ibuku juga tak pernah tahu tentang pulau ini,” jawab Yuki.
”Mengenaskan, perasaanku sama sekali tak enak sejak pertama kita mendekati pulau ini,” aku So-hyun.
”Hei ... jangan berkata yang tidak – tidak. Bersikaplah sopan dan jangan lakukan apapun yang dapat membuat ’mereka’ terusik,” kata Ye-ri yang terus mengumpulkan kerang – kerang unik. Yuki ikut mengiyakan.
Berbeda halnya dengan kelompok satunya, Boo-wo dan A-goong terus mengusili Dong-suk sampai ketiganya masuk kedalam hutan. Mereka berhenti berjalan ketika mendengar suara nyanyian dari arah atas pohon apel yang begitu lebat. Ketiganya mendongakkan kepala. Seorang gadis mengenakan sebuah kaus berwarna putih dan juga rok berwarna putih yang sedang duduk diatas pohon. Ketiganya lagsung bergidik melihat gadis itu.
”Dia itu manusia atau ...” ”Hush !”
”Ehm, permisi ...” panggil Dong-suk hati – hati. Gadis itu menoleh kebawah dan tersenyum kearah ketiganya sehingga membuat ketiganya berteriak secara spontan. Gadis itu hanya tersenyum, kemudian lompat ke tanah.
”Huaaaa !!! Jangan ganggu saya ! Saya masih perjaka ! Masih ingin hidup panjang dan masih ingin menikah !” seru A-goong kepada gadis itu sambil menutupi wajahnya.
”Jangan makan saya ! Makan saja Dong-suk ! Daging saya alot ! Lihat – lihat ! Saya hanya ada tulang dan kulit ! Dong-suk lebih gemuk dari pada saya ! Jangan patahkan tulang saya terutama pada hidung ! Ini hidung baru saya !” seru Boo-wo sambil menutupi batang hidungnya yang terlihat mancung. Dong-suk hanya menggerutu saja. Gadis itu terkekeh pelan.
”Hei, kalian ini apa – apaan sih ? jangan mempermalukan diri sendiri ah, dia itu orang baik !“ bela Dong-suk. A-goong dan Boo-wo langsung menelan ludah dalam – dalam.
”Ah, ku rasa ini cinta pertamanya Dong-suk,“ bisik Boo-wo pada A-goong.
”Ih amit – amit, cinta pertama nongolnya gak enak banget di hutan kaya gini. Kalau jadi – jadian orang utan gimana ya ? Oh tidak,” timpal A-goong yang berbisik pada Boo-wo, kemudian keduanya tertawa bersamaan, membuat Dong-suk dan gadis itu menatap keduanya dengan bingung.
”Oh ya, apa yang kalian lakukan disini ? Apa kalian tak takut di hutan belantara seperti ini ?” tanya gadis itu kepada ketiganya.
”Kami sedang memancing di laut, tapi kapal kami sedang kehabisan bahan bakar dan kami break disini,” jawab A-goong.
”Oh begitu. Kenalkan, namaku Erika Berdellait, salam kenal ...“ kata gadis itu sambil membungkukkan tubuhnya ala orang timur.
”Aku A-goong. Lee A-goong, salam kenal …” kata A-goong. “Aku – aku ! Boo-wo ! Kim Boo-wo ! Pria paling tampan dengan hidung baru,” serunya sambil memamerkan hidungnya yang mancung. Dengan kompak, A-goong dan Dong-suk menyorakinya, sedangkan Erika tertawa mendengernya. Setelah tawanya mereda, ia menatap Dong-suk.
”Ah ya, hampir saja lupa !” ”Dong-suk. Oh Dong-suk,” lanjutnya sambil tersenyum.
”Laki – laki paling ’tampan’ diantara kita bertiga. Anaknya Oh Do-do,” timpal Boo-wo. A-goong hanya cekikkikan, sedangkan Dong-suk kembali menggerutu pelan. Erika hanya tertawa.
Kemudian ketiganya kembali berkeliling hutan ditemani oleh Erika. A-goong dan Boo-wo berjalan didepan Erika Dan Dong-suk sambil bersenda gurau, sedangkan Erika dan Dong-suk sedang asik berbincang.
”Apa kau tak takut ? Pulau ini tak berpenghuni,” tanya Erika seakan mendesak dengan pertanyaannya yang sudah dua kali ia tanyakan kepada Dong-suk.
”Takut ? Untuk apa ? Pulau ini indah dan aku menyukainya. Jika ada apa – apa terjadi pada kami, Ayah Ye-ri akan segera menanganinya,” jawab Dong-suk santai.
”Ye-ri ? Siapa itu ?” tanya Erika. ”Nah itu mereka,” Dong-suk menunjuk kearah tiga gadis lain yang sedang duduk di pinggir pantai sambil memainkan pasir dan kerang – kerang. A-goong dan Boo-wo berlarian kearag ketiganya dan segera memamerkan Erika pada ketiganya.
”Hai,” sapa Yuki dengan bahasa ibu. Erika membalas sapaannya dengan bahasa yang sama. ”Yuki. Yuki Okamoto, salam kenal,” lanjut Yuki mengulurkan tangannya kearah gadis itu. Erika membalas uluran tangannya dan menjawab, ”Erika Berdellait, salam kenal.” dingiiin ... pikir Yuki dalam hati.
”Hai Erika, aku So-hyun. Park So-hyun,” kata So-hyun dengan bahasa Inggris kepada gadis itu sambil mengulurkan tangannya kearah Erika. Erika membalas uluran tangan tersebut dan memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris karena So-hyun, A-goong, Boo-wo, dan Dong-suk tak bisa menggunakan bahasa Jepang.
”Pasti kau Ye-ri,” kata Erika menunjuk gadis yang lainnya, yang sibuk mengantongi kerang – kerang.
”Hah ? Eh ? Oh ... iya aku Ye-ri. Kang Ye-ri. Bagaimana kau bisa tahu namaku ?” tanya Ye-ri bingung sambil terus menyelipkan kerang kedalam saku bajunya.
”Aku hanya menebak, kebetulan tadi Dong-suk menyebut namamu,” jawab Erika.
”Dong-suk ? Tak biasanya kau menyebutku dengan ’Ye-ri’, biasanya kau meyebutku dengan ...,”
”Tu-Kang Je-li,” jawab A-goong dan Boo-wo melanjutkannya dengan kompak.
”Nah ! Itu dia ! Ada apa denganmu Dong-suk ? Itu keajaiban terbesar di dunia ...” kata Ye-ri. Dong-suk hanya tersenyum seribu bahasa.
”Biasa – biasa, ada gadis cantik dia langsung kebanyakan tingkah !” ujar So-hyun menggoda Dong-suk dengan bahasa keseharian mereka, Korea. Erika hanya tersenyum meskipun tak mengerti.
”Oh ya ngomong – ngomong apa yang kau lakukan disini Erika ? Ini kan pulau tak berpenghuni,” tanya Yuki penasaran dengan bahasa Jepang.
”Yukiyah ! Kami tak paham dengan perbincangan kalian, apa bisa menggunakan bahasa Inggris ?” tanya So-hyun geram.
”Oh baiklah, maaf ...” kata Yuki nyengir.
Erika tersenyum sebelum menjawabnya. ”Aku hapal pulau ini. Orang tuaku pindah ke Pulau Hokkaido sejak tahun 2004 lalu, dan kami berlibur kesini setiap tahun. Dan kali ini kami kembali berlibur ke pulau ini. Pulau tak berpenghuni yang kami sukai, namun aku ditinggal mereka karena mereka kembali ke Prancis,” jelas Erika dengan bahasa Inggris.
”Prancis ?!” tanya keenamnya tak percaya. Erika mengangguk singkat.
”Omona ! Bagaimana bisa orang tua meninggalkan pitiknya disini sendirian ?” tanya A-goong.
”Eeeeh ... bukan pitik ! Itu mah ayam,” elak Yuki. A-goong hanya menepuk keningnya dan berbisik ’oh iya ya ...’.
”Bisa begitu ? Ditinggal ke Prancis dalam rangka apa ?” tanya Dong-suk penasaran.
”Mereka akan membawa pulang Erina, kakakku. Erina tak ingin datang ke Jepang karena ia tak menginginkan kehidupan baru dengan keluarga pihak Ibuku,” jawab Erika.
”Oh ... maaf membuatmu sedih,” kata Dong-suk merasa bersalah.
”Tak masalah,” jawab Erika.
”Lantas, bagaiman kau tinggal ? Maksudku, bagaimana kau melakukan semua kegiatan seorang diri di pulau kosong ini ?” tanya Ye-ri bingung.
”Ada sebuah villa ditengah hutan, orang tuaku sengaja membuatnya selagi kami berlibur dan disana sudah banyak mencakup fasilitas,” jawab Erika.
”Benarkah ? Hebat ! Apa kami boleh melihat villa itu ?” tanya Ye-ri bersemangat. Sebelum Erika menjawabnya, Saito telah kembali.
”Kita bisa pulang sekarang. Saya sudah mengisi bahan bakar kapal, untung saja saya memiliki cadangan dan saya rasa cukup untuk sampai di pelabuhan,” lapor Saito.
”Kira – kira pukul berapa kita sampai di villa ? Aku sudah tak sabar untuk menyantap ikan hasil tangkapan kita hari ini, mmm ...” tanya So-hyun sambil mengusap perutnya dan menjilat bibirnya. Yuki tertawa pelan melihat tingkah So-hyun.
”Mungkin sebelum matahari tenggelam kita sudah sampai,” jawab Saito. Semuanya segera naik keatas kapal.
”Tunggu. Apa setidaknya kita mengajak Erika ke villa ? Kasihan ia sendirian disini,” tanya Dong-suk kepada teman – temannya.
”Aku setuju dengan Dong-suk. Saito, apa kita boleh mengajak Erika pulang ke villa ?” tanya Yuki.
”Maaf, Erika siapa ?” tanya Saito tak paham. Yuki menoleh kearah gadis yang berdiri tak jauh dari kapal sambil memegangi roknya yang terus tertiup angin. Saito memperhatikan gadis itu, sepertinya tak asing baginya. ”Terserah Nona sajalah, saya hanya mengemudikan kapal,” jawab Saito pasrah. Dong-suk segera melompat turun dari kapal dan berlari mendekati Erika.
”Mengapa kau kembali lagi ?” tanya Erika bingung.
Dong-suk mengulurkan tangannya kearah tangan Erika. ”Apa ?” tanya Erika bingung lagi.
”Ikutlah dengan kami,” pinta Dong-suk.
“Tapi …”
“Kumohon,” pinta Dong-suk lemah. Erika pun akhirnya bersedia untuk ikut Dong-suk dan teman – temannya menuju villa keluarga Okamoto di P. Hokkaido.
Sesampainya di villa, keenamnya disambut hangat oleh Susumu yang ternyata sangat khawatir karena tak ada kabar sedikitpun tentang keberadaan mereka semua. Ia juga sempat terkejut melihat kedatangan Erika. Seingatnya ia pernah melihat gadis ini, namun ia lupa dimana, seperti Saito tadi ketika pertama kali melihat Erika. Namun Susumu tak menghiraukannya meski hawa disekitarnya berubah menjadi begitu dingin dan aneh …
Malam itu makan malam terlihat begitu istimewa, Erika mengenakan pakaian milik Ye-ri yang tersisa banyak didalam kopornya. Dengan sedikit terpaksa, Yuki harus berbagi tempat tidur dengan Erika karena Dong-suk memaksa gadis itu untuk bermalam bersama mereka.
”Aku tidak mau tahu jika esok pagi punggungku pegal – pegal, kau harus membayarnya Dong-suk !” gertak Yuki sebal. Dong-suk tak menghiraukannya dan segera berpaling bersama teman – temannya yang lain.
”Sepertinya esok Dong-suk akan membayar semuanya,” bisik Ye-ri pada Yuki memanas – manasi. Yuki mengepalkan tangannya keata udara dan berkomat – kamit mengomeli Dong-suk, mengutukinya, dan mencacinya. Makan malam terjadi begitu cepat dan tenang. Hanya terdengar suara dentingan alat makan saja.
Selesai makan, Yuki dan Ye-ri duduk di halama belakang villa, disusul oleh Erika dan So-hyun.
”Malam ini bintangnya indah sekali, ya ?” puji Ye-ri dengan bahasa Korea-nya.
”Apa ?” tanya Erika bingung.
”Oh maaf, rupanya kau ada disini,” ucap Ye-ri bersalah. Erika hanya menyimpulkan sebuah senyuman, namun tak membuat Ye-ri mau merubah pendiriannya untuk tetap berbicara dengan bahasa Korea.
”Ye-riyah ... bersikaplah sopan kepada tamu kita yang tak paham bahasa Korea,” pinta So-hyun kesal.
”Dia bukan tamuku dan aku akan tetap menggunakan bahasa Korea karena ada sesuatu yang ingin ku katakan pada kalian namun tak ingin ia paham,” jelas Ye-ri tanpa menoleh kearah So-hyun.
”Apa ?” tanya Yuki penasaran, menghiraukan Erika yang kini duduk dihadapan Ye-ri dan memandangi gadis itu tanpa berkedip entah apa yang ia perhatikan. Namun matanya tertuju pada lapisan leher Ye-ri yang terlihat jelas karena rambutnya terikat satu dengan rapih.
”Aku tak nyaman dengan kehadiran gadis itu, apa kita bisa mengusirnya segera ?” tanya Ye-ri kepada kedua temannya. Kedua temannya dengan kompak membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang mereka dengar dari mulut Ye-ri.
”Yang benar saja Ye-ri, jangan gila ! Kau benar – benar tak sopan jika kita harus mengusirnya segera ! Itu tak ada dalam etika !” seru Yuki.
”Etika kau bilang ? Hei Yuki, sejak kapan kita memikirkan etika ? kau ingat bukan bagaimana cara kita mengusir supir angkutan bodoh itu musim gugur tahun lalu ? Bukankah kau yang terlebih dahulu mengusirnya dengan cara yang lebih parah dari kami semua ?” tanya Ye-ri seakan menantang. Yuki hanya bisa diam.
”Tapi ini berbeda dengan kejadian tempo hari Ye-ri ! supir angkutan itu memang benar bersalah dan meminta kita untuk melindunginya, mana bisa ? kalau ini berbeda. Kita yang menemukan ia, bukan dia. Dan jika kita mengusirnya maka Dong-suk akan mengambil alih semuanya, paham ?” papar So-hyun.
Ye-ri diam dan memandangi kedua temannya dengan datar. ”Tidak.” jawabnya singkat kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga. ”Aku tak ingin berbagi kasur dengan gadis itu !” seru Ye-ri keras – keras sambil terus berjalan menjauh dari ketiganya. So-hyun dan Yuki hanya menggeleng tak karuan, bingung menghadapi Ye-ri yang keras kepala.
Malam pun semakin larut, mau tak mau Ye-ri tetap harus berbagi kasur dengan Erika dengan paksaan teman – temannya, meskipun Susumu telah berbaik hati memberikan kamarnya untuk Erika, namun teman – temannya yang lain menolaknya.
Ye-ri tidur dengan keadaan mengenaskan, bahkan ia bisa dikatakan tidak mendapatkan sedikit alas yang menutupi tubuhnya dari lantai kamar. Porsi Erika sungguh besar.
Pukul 1 malam, ketika semuanya tertidur dengan pulasnya dan tak ada seorangpun yang terjaga, Erika segera terjaga dari tidurnya dan menatapi teman sekamarnya dengan tajam. Memperhatikan ketiganya satu per satu dan mendekati So-hyun yang terlihat sangat pulas ketimbang dua teman lainnya. Ia melihat So-hyun dengan diam, berjalan mendekatinya dan menyeka rambut tebal So-hyun yang menutupi leher gadis tersebut. Pertama – tama ia mengelus pelan leher tersebut, membuat So-hyun sedikit geli. Kemudian ia mendekati dirinya dengan leher tersebut dan mendekatkan gigi taringnya pada leher tersebut.
”Erika ? Apa yang sedang kau lakukan ?” tanya Ye-ri yang membuatnya tersentak dan menjauh dari leher So-hyun. Gadis itu berlari sekuat tenaga keluar kamar, sedangkan Ye-ri berlari dibelakangnya, mengikuti.
Ia berhenti berlari ketika sudah berada diluar villa. ”Gadis yang aneh, pergi kemana ia ?” tanya Ye-ri kepada dirinya sendiri. Ia kembali memutuskan untuk kembali ke villa.
Paginya, pukul 6 pagi ...
”Ye-riyah ? Semalam kau tak tidur ?” tanya Yuki yang baru saja bangun dan kini membereskan tempat tidurnya sambil melihat kearah Ye-ri yang sedang duduk diatas kolam batu sendiri.
Ye-ri menoleh kearah Yuki. ”Erika kabur semalam,” lapor Ye-ri.
”Hah ?” tanya Yuki.
”Erika kabur semalam,” ulang Ye-ri yang kembali memperhatikan aliran air mancur yang turun dari sebatang bambu.
”Apa ? Jangan bercanda kau ! Kabur bagaimana maksudmu ?” tanya Yuki yang berlari kearah beranda kamar.
”Semalam ia ingin menggigit So-hyun, dan lari ketika kupergoki,” cerita Ye-ri.
”Menggigit So-hyun ? Apa maksudmu ?” tanya Yuki lagi.
So-hyun masuk ke dalam kamar sambil mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk. ”Aduh, Yuki ... tolong lihat benda apa ini,” pinta So-hyun yang berjalan kearah Yuki dan menunjukkan lehernya. Yuki melihatnya. Sebuah titik berwarna hitam di leher kanan So-hyun. Bolong.
”So-hyunah ! Lehermu bolong !” seru Yuki menutup mulutnya.
”Apa ? Bolong ? mana mungkin. Ye-riyah ! Tolong lihat leher kananku,” So-hyun berjalan mendekati Ye-ri untuk memamerkan leher kanannya.
”Aku setuju dengan Yuki. Lehermu bolong, seperti digigit oleh sesuatu yang tajam,” jawab Ye-ri masih datar. Yuki dan So-hyun heboh sendiri. 5-6 detik kemudian, Ye-ri kembali tersadar.
”Omo ! So-hyunah ! Mungkin saja apa yang ku lihat semalam itu benar !” seru Ye-ri.
”Maksudmu ?” tanya Yuki dan So-hyun bingung.
”Semalam aku memergoki Erika yang ingin menggigit lehermu !” pekik Ye-ri tercekat.
”Jadi ... kau berasumsi bahwa Erika itu vampir ? Ya ampun Ye-riyah ! Jangan bodoh !“ seru So-hyun menepuk pundak Ye-ri.
”Itu mungkin saja terjadi, apa kau tak kepikiran tentang dirinya. Muncul tiba – tiba di hutan pulau tak berpenghuni, mengaku sebagai seorang anak yang ditinggal kedua orang tuanya keluar negeri dan ia tinggal sendiri di pulau tak berpenghuni. Manusia primitif di Jepang sudah tak ada dan tergolong sangat langka. Dan aku percaya 100% bahwa ia bukanlah gadis biasa,” papar Ye-ri.
”Dengar Ye-ri, Erika itugadis biasa seperti kita. Kau ini melebih – lebihkan saja, aku tahu kau iri karena kami semua lebih tertuju padanya,” jelas Yuki. Ye-ri mendesah keras ketika kedua temannya kembali masuk kedalam kamar.
Beberapa minggu kemudian ...
Ye-ri dan Boo-wo berdiri didepan beranda villa sambil menyiapkan sepeda untuk teman – temannya.
”Boo-wo, sebentar lagi pesiar akan menjemput kita untuk kembali ke Seoul. Apa kita akan membiarkan Erika untuk ikut ke Seoul ?” tanya Ye-ri.
”Ke Seoul ? Ah kau ini mengandai – andai. Tidak mungkin itu, lagi pula keluarga siapa yang bersedia menampung kehadirannya ?”
”Jadi bagaimana ? apa kita akan meninggalkan Erika disini ? aku mengkhawatirkan para pekerja di villa ini jika kita tinggalkan Erika bersamanya,”
”Mengapa harus khawatir ? Erika sama sekali tak menyeramkan, tak menghisap darah seperti vampir,”
”Nah itu dia ! Masalahnya, emmm ... tapi aku harus berusaha meyakinimu Boo-wo. Beberapa hari lalu aku sempat memergokinya menggigit leher kanan So-hyun sampai lehernya terdapat bekas gigitan dan ... bolong,” bisik Ye-ri pelan.
”Apa ? bolong ?!”
”Ssst ... jangan keras – keras !”
”Mana mungkin itu terjadi !”
”Aku saksi bisunya ! aku melihat sendiri dengan mata kepalaku !”
”Ah kau ini, mungkin saja kau hanya mengigau !”
”Tapi ...” ”Pagi Ye-ri ! Pagi Boo-wo ! terima kasih sudah menyiapkan sepeda kami,” sapa Dong-suk yang muncul dari villa bersama yang lain. Ye-ri dan Boo-wo hanya tersenyum. Namun senyuman Ye-ri berubah menjadi datar ketika melihat sosok Erika yang berdiri dibelakang Dong-suk, dan ia melihat tangan gadis itu sedang bergandengan dengan tangan Dong-suk. Erika tersenyum kearah Ye-ri.
Mereka pun segera mendaki gunung menggunakan sepeda. Ye-ri, Yuki, dan So-hyun mengayuh sepeda mereka paling belakang.
”Hei, minggu ini pesiar akan menjemput kita untuk kembali ke Seoul, apa kita akan mengikutsertakan Erika ?” tanya Ye-ri tiba – tiba.
”Mengikutsertakan Erika ? Tentu saja tidak, mana ada keluarga dari kita yang bersedia menampung dia. Asal kau tahu, aku saja sudah kerepotan memiliki adik seperti Yuko, bagaimana nasibku selanjutnya jika Erika tinggal seatap denganku ? mengenaskan,” protes Yuki panjang.
”Yah, sepertinya aku juga tidak. Meskipun kalian tahu aku ini anak tunggal, tapi ibuku saja sudah tak begitu sanggup menghadapiku sendiri, bagaimana jika Erika tinggal bersamaku ?” kata So-hyun mengelak. ”Bagaimana denganmu sendiri ?”
”Aku juga tak bersedia menampung seorang vampir dirumahku,” jawab Ye-ri ketus.
”Ye-ri ! Kau ini apa – apaan sih ? mengapa kau selalu mengatakan bahwa ia seorang vampir ? dia bukan vampir !” seru So-hyun.
”Terserah apa katamu, tapi suatu saat kita akan membuktikan kalau ia adalah seorang vampir,” jelas Ye-ri yang kemudian pergi mengayuh sepedanya lebih jauh dari keduanya, menyusul A-goong dan Boo-wo yang mengayuh sepeda mereka sambil bergurau didepan sana. Yuki dan So-hyun hanya mengangkat bahunya, tak tahu bagaimana lagi cara untuk meyakini Ye-ri.
Dua hari kemudian, malam sebelum SSJ kembali ke Seoul ...
Malam ini bulan purnama. Membuat segalanya begitu terang dibumi ini meskipun kita sedang berada didalam hutan belantara sekalipun. Anak – anak SSJ sedang sibuk mengepakkan baju masing – masing kedalam kopor masing – masing, namun tidak dengan Dong-suk. Ia sedang pergi keluar villa bersama Erika, entah untuk apa tak ada yang tahu.
Tiba – tiba ...
”Apa kalian tahu dimana Dong-suk sekarang ? aku mengkhawatirkannya,” tanya Boo-wo ketika sedang makan malam bersama.
”Ia sedang jalan keluar bersama Erika,” jawab So-hyun.
”Erika si vampir itu ?” tanya Boo-wo lagi.
”HUSH ! Boo-wo ! Jaga bicaramu ! dia bukan vampir, mengapa kau jadi mengikuti jejak sesatnya Ye-ri ?” omel Yuki.
”Jejak sesatku ?” gerutu Ye-ri pelan sambil kembali menyuap nasinya.
”Kita harus memanggil kembali Dong-suk dan Erika. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” kata A-goong yang menyudahi makannya.
”Aku ikut !” seru Yuki spontan, membuat semuanya menoleh kearahnya. ”Eh ... maksudku kita semua ikut mencari Dong-suk dan Erika,”
Susumu berlari ke ruang makan, sempat menghentikan langkah lima anak tersebut.
”Maaf menganggu. Apa ada yang melihat Dong-suk ? Aku menemukan ini dikamarnya,” tanya Susumu sambil memamerkan sebuah benda berbentuk gigi taring.
”Apa itu Susumu ? menjijikan sekali,” tanya Boo-wo jijik.
”Aku tak tahu ini apa, dan kurasa kalian harus segera mencari Dong-suk,” jawab Susumu yang memberikannya kepada So-hyun karena gadis itu ingin melihat benda tersebut. ”dan satu hal yang belum sempat ku beritahu kalian. Aku tak suka dengan Erika, dan kita harus segera membawa Dong-suk segera pulang tanpa Erika,” lanjut Susumu. Semuanya pun segera bergegas mencari Dong-suk.
Tak henti – hentinya, SSJ, Susumu, dan Saito meneriaki nama Dong-suk berkali – kali sampai mereka semua memasuki hutan belantara diatas bukit.
”Apa kau yakin Dong-suk pergi kesini ?” tanya A-goong pada Saito.
”Saya yakin. Tadi sebelum saya masuk kembali kedalam villa, saya melihat mereka berdua masih menanjaki bukit keatas sini,” jawab Saito yakin. Merekapun kembali mencari.
Sampai akhirnya, mereka mendengar suara Dong-suk mengaduh. Pelan, berat, tapi pasti. Merekapun segera berlari mengikuti arah suara tersebut.
”AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA~!!!”
”Erika ! Apa yang sedang kau lakukan ?!” tanya Ye-ri sambil mengarahkan senternya kearah Erika dan Dong-suk. Erika menoleh dengan cepat dan masih memamerkan gigi taringnya yang berlumuran darah, sedangkan tubuh Dong-suk yang lemas kini terkulai lemah jatuh ke tanah.
”Erika ... k-k-kau ??” Erika berlari menerjang sosok Ye-ri, namun cahaya senter dari beberapa orang lainnya segera menyorot dirinya dan membuatnya segera berlari menjauh dan tak terlihat oleh mata lagi.
SSJ segera berlari kearah tubuh Dong-suk yang lemas tak berdaya. Susumu segera memeriksa denyut nadi Dong-suk. Sangat lemah.
”Hhh ... to-tolong ... hh ... kathakhan padha erikha ... bahwha ... akhu ... menchintainyahhhh ...” kemudian secara spontan jantung Dong-suk tak berdetak lagi. Raungan kembali menderu dari mulut Yuki, Ye-ri, dan So-hyun. Tubuh Dong-suk basah, bukan hanya karena darah yang melumuri tubuhnya sendiri, namun juga air mata Ye-ri, Yuki, dan So-hyun. Hutan gelap dan lembab ini kini menjadi saksi bisu dari kematian Dong-suk (ah si penulisnya lebay banget nih !).
Keesokan harinya, pesiar datang menjemput SSJ bersama mayat Dong-suk. Keluarga Dong-suk yang telah mendapatkan kabar menyedihkan ini telah hadir menanti tubuh beku tersebut di pelabuhan Incheon. Dong-suk pergi untuk mengakhiri masa kelamnya sebagai Oh Dong-suk putra Oh Do-do. Mungkin mengakhirinya bukan dengan sebuah senyuman, tapi dengan penghiatan cinta (apa sih ???).
Wassalam ...
Tunggu episode ketiga ya ? ^^
SSJ sorry ... gue gak bisa bikin cerita yang menyeramkan higz higz ;(
aliran gue udah fokus ke romance (tapi masih rada jelek juga)
enjoy it ! ^^
Episode 1 : Maggie dan Pulau Hokkaido
Pulau Hokkaido, tahun 1998
“Ibu ! Maggie lapar !” seru seorang anak kecil dari arah dapur. Wanita yang dipanggilnya sebagai Ibu itu sedang sibuk merajut sebuah topi wol berwarna merah marun diruang tengah sambil mendengarkan lagu ‘Chatty is My Cat’ milik Nagisa Shibataki. “Ibu !” seru anak itu lagi karena sang Ibu sama sekali tak menjawab panggilannya.
Wanita separuh baya itu mendesah keras, bangkit dari duduknya, meletakkan kegiatannya diatas meja bundar kecil dihadapanya, dan segera berjalan menuju dapur.
“Apa lagi ?” tanya wanita bertubuh gempal sambil menggulung lengan bajunya.
“Binatang nista ini kelaparan dan ingin meminta makan,” jawab gadis kecil itu sambil mencengkram kuat leher kucing Persia cacat tersebut sekuat tenaga, tak peduli bahwa kucing itu meronta – ronta kesakitan.
Wanta bertubuh gempal itu membelalakkan matanya kearah kucingnya dengan sadis dan tersenyum keji. Ia menarik kucing tersebut dengan kasar dari cengkreman puterinya dan segera menyalakan kompor untuk memasak air.
“Oh Maggie … sebelum kau makan, kau harus mandi terlebih dahulu … lihat tubuhmu ! Jelek, usang, dan sangat menjijikan. Ugh ...,“ ujar wanita itu sambil menarik telinga Maggie yang hanya tersisa satu.
10 menit kemudian, suara teko berdenyit, menandakan bahwa air sudah masak. ”Kyoko ! Tolong angkat airnya dan bawa kemari !“ seru wanita itu.
”Baik Bu !“ Kyoko, gadis cilik itu berlari tergopoh – gopoh sambil membaw teko panas tersebut.
Wanita tua itu sudah terlebih dahulu memasukkan Maggie kedalam ember tersebut. Sebelumnya ia menatap kejam kearah kucing persia tersebut yang sudah dapat dikatakan bukan seperti seekor kucing, melainkan sebagai replika kucing ersia yang cacat dan hampir saja punah. Lihat saja, kucing itu hanya memiliki satu mata dan itu pun buta, keempat kakinya pincang, dan hanya memiliki separuh telinga.
Kyoko menyerahkan teko tersebut kepada Ibunya. ”Nah Maggie, sekarang waktunya kau mandi ...” ujarnya terkekeh pelan. Ia menuangkan seluruh isi air panas yang baru mendidih itu kedalam ember. Maggie yang buta, kurus, dan tak berdaya itu semakin tak berdaya. Kucing itu langsung mati dalam sekejap diikuti oleh suara tawa yang menggelegar dari si wanita tua tersebut bersama Kyoko, gadis ciliknya.
Sebelum tawa mereka kembali mereda, seorang anak kecil lagi berlari menuju dapur. Ia terkejut melihat apa yang dilakukan ibu dan juga saudara kembarnya.
”MAGGIE !!!” serunya tak percaya. Isak tangisnya membanjiri kedua pipinya. Suara isak tangis, suara tawa, dan suara alunan lagu Nagisa Shibataki campur aduk menjadi satu. Membuat rumah itu menjadi begitu bising.
*****
Seoul, kediaman Keluarga Kang, tahun ini …
Keenam anak itu kini sedang asyik berbincang disebuah ruangan yang mereka sebut sebagai Super Six Jumper camp, atau biasa disingkat sebagai the Camp.
Lee A-goong, Kim Boo-wo, Oh Dong-suk, Park So-hyun, Yuki Okamoto, dan Kang Ye-ri telah bersahabt sejak keduanya duduk dibangku kelas 2 SMP. Karena keakraban mereka berenam, mereka menamakan diri mereka sebagai Super Six Jumper atau SSJ. Keenamnya sangat menggemari segala hal yang berbau mistis, salah satunya adalah Kang Ye-ri dan Park So-hyun. Keduanya selalu berbagi cerita legenda hantu dari berbagai mereka. Dan ruangan inilah tempat mereka mencari tahu segala sesuatu yang berkenaan dengan hantu. Namun tidak untuk kali ini. Kali ini mereka berenam berkumpul di The Camp untuk membahas rencana liburan sekolah musim panas tahun ini.
“Aku ingin naik pesiar ! Selama 16 tahun aku sama sekali belum pernah menaiki pesiar !” rengek Boo-wo.
“Pesiar ? Kau kira kita akan pergi ke pelosok Eropa atau Amerika ? Lagi pula mana ada pesiar yang bersedia memfasilitasi untuk enam bocah ingusan seperti kita ini,” jelas Dong-suk.
“Kami tak ingusan ! Dan kami tak sedang flu !” ujar So-hyun, Yuki, dan Ye-ri bersamaan. Dong-suk mendesah.
”Sudahlah ... kalian ini apa – apaan sih. Kau juga Boo-wo, ingin naik pesiar. Mana ada pesiar yang bersedia mengantar enam penumpang dari Seoul menuju Hokkaido ? Itu hanya membuang – buang waktu saja,” omel A-goong. Boo-wo mengeluh panjang.
”Tapi menurutku tak ada salahnya jika kita menyewa pesiar hanya untuk mengantar sampai Hokkaido, toh ... tetap saja mereka mendapatkan bayaran dari kita,” kata Yuki tiba – tiba.
”Ya itu benar, meski kita harus mengeluarkan kocek yang begitu besar,” lanjut So-hyun.
”Memangnya kita sanggup membayarnya ? Jujur saja, aku tak bisa membantu dalam masalah ini. Ayahku baru saja menyelesaikan kampanye-nya sebagai salah satu calon anggota legislatif dan ia mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Jadi aku tak bisa ikut menyumbang,” jelas A-goong.
”Begitu pula dengan kedua orang tuaku. Minggu lalu mereka baru saja menghabiskan 60 juta won demi mengoperasi hidungku dan membeli kucing baru untuk kakakku. Jadi aku tak bisa,” kata Boo-wo.
”Lantas, bagaimana ini ? Bagaimana denganmu Dong-suk ?” tanya So-hyun.
”Yah begitulah, orang tuaku baru saha membangun apartemen baru di Daejon, aku tak bisa,” jawab Dong-suk singkat.
”Kalau begini bagaimana kita bisa pergi ke Hokkaido ???” tanya Yuki kesal.
”Aku bisa,” celetuk Ye-ri tiba – tiba, yang membuat kelimanya menoleh kearahnya. ”Ya. Mungkin Ayahku bisa memfasilitasi pesiar untuk keberangkatan kita menuju Hokkaido. Kebetulan liburan musim panas ini Ayahku juga akan berangkat ke Amerika untuk menjemput Ibu dan sekalian berkunjung ke rumah Keluarga Kim sahabatnya. Mungkin ia akan mengizinkan kita untuk menumpang pesiarnya nanti,” jelas Ye-ri.
”Keluarga Kim ? Margaku Kim !” seru Boo-wo.
”Hei Kim Boo-wo ! Jangan bodoh ! Marga Kim itu bukan hanya kau yang menyandangnya, ada ratusan bahkan ribuan orang diluar sana juga menyandang marga Kim, paham ?“ omel Dong-suk. Boo-wo hanya menggerutu pelan.
”Kalau begitu kau harus segera menghubungi ayahmu, Ye-ri !” seru Yuki. Ye-ri mengangguk dan segera menghubungi ayahnya. Beberapa menit kemudian, ”Besok Ayahku akan berangkat. Lekaslah bersiap – siap, kita berkumpul dirumahku besok pukul 10 pagi. Jangan sampai telat !”
Esoknya ...
Semuanya telah berkumpul di halaman depan rumah Keluarga Kang. ”Ayo anak – anak ! Lekas masuk ke dalam mobil, kita akan segera berangkat menuju pelabuhan !” seru Ayah Ye-ri. Keenamnya segera masuk ke dalam mobil keluarga Kang.
30 menit kemudian, mereka semua sudah berada didalam kapal pesiar yang disewa oleh Kang Eun-hoo, ayah Ye-ri.
”Kapal akan segera jalan 5 menit lagi, apa ada barang kalian yang tertinggal ?” tanya Ayah Ye-ri kepada SSJ. ”Sepertinya tidak ada, Paman,” jawab Boo-wo yang sejak tadi tak pernah luput dari senyuman. ”Baguslah kalau begitu. Dan saya harap bagi SSJ ... tak ada yang mabuk laut,” pesan Ayah Ye-ri tersenyum. SSJ hanya mengangguk. Pria separuh baya tersebut segera masuk ke dalam kabin kapten untuk bercapa kami dengan sang kapten, sedangkan SSJ asyik menikmati pemandangan indah. Berjam – jam mereka lalui akhirnya sampai juga di Pulau Hokkaido.
”Sampai jumpa anak – anak ! Jaga diri kalian baik – baik !” seru Kang Eun-hoo sambil melambaikan tangan dari atas pesiar, SSJ membalas lambaian tangan pria tersebut. Kapal yang ditumpanginya segera berangkat meninggalkan pelabuhan Pulau Hokkaido. Keenamnya segera dijemput oleh seorang pria jepang dengan mobil van tua-nya. Keenamnya dibawa menuju sebuah villa di kaki gunung. Vila keluarga Okamoto.
SSJ disambut dengan baik oleh para pekerja di villa tersebut. Kepala pelayan villa tersebut memandu keenamnya berkeliling villa sambil menceritakan beberapa kisah yang pernah terjadi ditempat tersebut.
”Itu ... rumah siapa ?” tanya A-goong sambil menunjuk ke sebuah rumah terang benderang diatas lereng bukit. Susumu Kitahara, kepala pelayan villa tersebut ikut menoleh bersama yang lain.
”Itu rumah keluarga Kisumi, mereka terkenal sebagai keluarga kucing karena sejak zaman dahulu keluarga tersebut begitu mencintai kucing dan memelihara kucing. Namun ketika keturunan Kisumi yang terakhir, Ibunya sangat membenci kucing. Ia menyiksa kucing terakhir kelurga tersebut bersama anak kembar pertamanya. Kucing itu mati karena melepuh didalam ember air panas dan konon kabarnya kucing itu menghantuinya. Ibunya, Erina Fukuhara akhirnya meninggal jatuh ke jurang karena ia melihat Maggie, kucing yang ia siksa waktu itu datang menghantuinya. Kini yang tinggal dirumah itu hanyalah Kyoko dan Keiko Kisumi, anak kembarnya. Dan untuk saat ini sering terdengar suara teriakan ketakutan dari Kyoko, karena dulu ia-lah yang membantu Ibunya membinasakan Maggie,” papar Susumu.
Keenamnya bergidik takut. ”Sudahlah anak – anak, lebih baik kalian beristirahat. Esok pagi Saito akan memandu kalian berkeliling lembah,” pinta Susumu yang menggiring keenamnya masuk ke dalam dua kamar berbeda.
Dikamar So-hyun, Yuki, dan Ye-ri ...
”Sepertinya malam ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak,” ujar So-hyun yang sudah meutupi tubuhnya ke dalam selimut. Yuki hanya mengangguk, namun Ye-ri masih berdiri didepan jendela menatap kearah rumah Keluarga Kisumi dilereng lembah sana.
”Ye-riyah, tidurlah ! Apa yang kau lakukan disitu ?” tanya Yuki kesal.
”Aku ingin melihat kucing itu,” ujar Ye-ri tanpa berpikir panjang dan segera mengenakan mantelnya. Yuki dan So-hyun buru – buru berlari mengejar Ye-ri dan menahan kepergiannya.
”Jangan bodoh ! Kembalilah ke tempatmu dan tidur !” seru So-hyun. Ye-ri mengelak. Yuki dan So-hyun menyeret Ye-ri kembali ke tempatnya. Ye-ri hanya mendesah kesal. Hanya tinggal menunggu 30 menit, So-hyun dan Yuki kembali tidur pulas, Ye-ri beranjak keluar villa menuju rumah Keluarga Kisumi.
Sesampainya disana, ia melihat dua orang gadis yang mungkin lebih tua sekitar dua tahun darinya sedang bertengkar. Malam – malam begini bertengkar apa sih mereka ?
Ye-ri kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang mengantarnya menuju rumah Keluarga Kisumi. Ia mendengar jelas suara kucing mengeong dan diikuti oleh teriakan histeris seorang gadis, dan suara teriakan gadis yang lain mencoba untuk mengusir kucing tersebut. Ketika Ye-ri mencoba untuk kembali melangkah, seorang gadis berambut panjang berlari kearahnya dan menariknya.
”Tolong ! Tolonglah ! Saudaraku akan segera mati jika Maggie masih terus mencakarnya !” seru gadis itu. Ye-ri tak mengerti apa – apa terus ditariknya masuk ke dalam rumah. Sesampainya didalam, Ye-ri melihat seorang gadis yang wajahnya tak jauh beda dengan gadis disampingnya sambil meronta – ronta kesakitan diatas lantai. Tubuhnya penuh dengan cakaran kucing, namun ia tak melihat jelas kucing tersebut, namun ia bisa melihat siluet kucing Persia cacat yang menindihi tubuh gadis itu.
Gadis yang bernama Keiko itu membantu sandarac kembarnya menjauh dari siluet hantu kucing tersebut. Ye-ri ikut membantu Kyoko lepas dari cakaran liar hantu Maggie, namun rupanya ia terlempar jauh. Ia melihat si kembar Kisumi berusaha keras menjauh dari hantu Maggie. Ye-ri untuk kesekian kalinya segera mengeluarkan ponselnya dan mengontak So-hyun. Belum kontaknya terputus dengan So-hyun, ia kembali berlari kearah Kisumi bersaudara.
Entah sejak kapan, kelima teman Ye-ri sudah berada disampingnya, membantu memindahkan Kyoko menjauh dari hantu Maggie. Suasana menjadi begitu ricuh karena banyaknya orang yang berada dalam ruangan tersebut. Maggie menjadi begitu tampak, membuat orang – orang yang berada dalam ruangan itu sedikit terkejut.
Kucing Persia itu memiliki bulu lusuh, dengan satu mata yang buta, keempat kakinya pincang, telinganya hanya satu dan itu juga sudah hancur. Sangat mengerikan. Keiko sempat terkejut dengan apa yang ia lihat. Kyoko segera berlari keluar rumah, tak peduli dengan teriakan saudaranya.
Maggie ikut mengejar Kyoko dan melompat kearah punggung Kyoko sehingga membuat gadis itu terperosok ke dalam jurang. Keiko berlari menyusuri jurang sambil meneriaki nama Kyoko, air matanya masih menetes.
Hantu Maggie menghilang entah kemana. Keiko dibawa oleh anak – anak HSJ menuju villa. Disana, Keiko diberi secangkir cokelat panas untuk menenangkan diri dan kemudian dipersilahkan untuk bercerita.
“Terima kasih banyak karena kalian telah mau membantu Kyoko dari Maggie, meskipun akhirnya tetap mengenaskan baginya. Sejak dahulu, sejak kematian Ayah … Ibu menjadi begitu kejam terhadap Maggie. Ibu dan Kyoko selalu kompak ketika menyiksa Maggie. Aku ingat malam kematian Ayah, Ibu dan Kyoko kompak tak member makan Maggie makan. Bahkan hari itu Ibu juga kesal karena Bibi tak pulang untuk memberikn kunci brankas milik Ayah, maka Ibu dengan mudahnya menggunting telinga Maggie dan mencongkel matanya hingga buta. Ibu dan Kyoko juga tak tanggung – tanggung untuk membuat Maggie pincang keseluruhan. Maka dari itu, sebelum ayah meninggal Maggie merupakan kucing yang gemuk dan lucu. Kini Maggie telah berubah menjadi kucing yang buruk. Buruk sekali. Aku sampai malu jika setiap sore aku pulang sekolah, para tetangga selalu membicarakan keburukan Ibu dan Kyoko pada Maggie,”
“Ku harap Byun-hoo tak sekeji itu terhadap kucing barunya,” doa Boo-wo.
Kyoko kembali menangis. Susumu dan HSJ membiarkan Kyoko untuk istirahat sementara Susumu mengontak polisi setempat untuk mencari mayat Kyoko.
Sore harinya, mayat Kyoko ditemukan dengan kedaan remuk dan tak berwujud. Keiko dan Keluarga Kisumi lainnya berkumpul untuk mengadakan acara pemakaman Kyoko. Keiko meminta mayat Kyoko untuk di kremasi, sama seperti yang dilakukan oleh mayat kedua orang tuanya.
“Ku harap Maggie tak gentayangan lagi di desa ini,” kata Keiko sore itu kepada anak – anak HSJ.
“Ya kami juga berharap yang sama,” kata A-goong.
“Eh Keiko, itu ! Mengapa rumahmu dihancurkan ?” tanya Dong-suk melihat rumah Keiko dilereng bukit dihancurkan oleh beberapa alat berat.
“Oh itu. Biarkan saja, lagi pula semalam aalah hari terakhirku tinggal di Hokkaido. Seharusnya aku dan Kyoko pindah ke Tokyo hari ini, tapi ternyata hanya aku saja yang harus pindah,” jelas Keiko yang kembli memancarkan kesedihannya. “Sampai jumpa Keiko, jaga dirimu baik – baik !” seru Yuki melambaikan tangannya kearah Keiko. Keiko membalas lambaian tangan tersebut.
“Terima kasih untuk bantuan kalian !” seru Keiko yang kemudian pergi bersama mobil milik keluarganya meninggalkan desa terpencil di Hokkaido tersebut.
“Kapan kita pulang ?” tanya Boo-wo tiba – tiba.
“Hah ? Pulang ? Jangan bodoh Boo-wo, kita baru saja sampai di Hokkaido kemarin kau sudah minta pulag ?” tanya A-goong.
“Aku khawatir Byun-hoo menyakiti kucing barunya !!!!!” seru Boo-wo sambil menjambak rambut Dong-suk. Dong-suk menggerang kesal.
“Boo-wo !!!! Rambutku sakiiit !” serunya kesal sambil menarik hidung Boo-wo.
“Ya Tuhan Dong-suk ! Jangan pegang hidungku ! Ini hidung baruku !” seru Boo-wo kesal. Yang lainnya hanya tertawa.
A BIG THANKS TO THOSE GUYS!